Ketika malam hujan mereka duduk merapat, berbagi. Berbagi yang mereka punyai dan apa yang kantong mampu bawa. Berbagi sigaret hasil keringat sendiri atau hasil pemberian orang tua, kopi yang terlalu manis, guyonan jenaka, lelucon yang tak menimbulkan tawa, atau visi masa depan khas seorang calon pemimpin muda yang masih bau bawang.
Ketika malam hujan mereka duduk merapat, dan tentu saja mereka saling bertukar cerita. Cerita, bukan gosip karena tak tepat menyelipkan kata tersebut dalam kalimat bersubyek pria. Bertutur panjang lebar, karena lidah tidak bertulang, tentang miniatur dunia politik, olahraga di kala sore, mahasiswi yang menjadi buah bibir, atau rencana-rencana sempurna yang tak kunjung terealisasi. Di tengah operet meja itu sesekali mereka berkelakar, memaki musisi amatiran yang sedang menari dengan alat musiknya, menginjak puntung rokok putihan yang dijatuhkan dengan sandal, dan menyeruput ampas kopi yang telah dicampur dengan cola. Terpenting ini bukan ruang kuliah yang dikendalikan dengan supremasi penuh seorang widyaiswara atau forum kecil dalam arisan ibu-ibu dasawisma. Ini ruang dan waktu di mana mereka bebas menyuarakan rasa dan apa itu mereka.
A true friend stabs you in the front.
Oscar Wilde
Berikutnya saya beranjak, mengitari setengah lingkaran di luar sebuah bangunan tanpa tembok penuh hiruk pikuk saat saya berpapasan dengan seorang yang selalu saya harap kedatangannya dan selalu saya kagumi cara duduknya ketika sedang menerawang tetapi syaraf seluruh tubuh seperti memerintahkan agar saya terjungkal ketika melihatnya, mati kaku. Sehingga saya terpaksa menetralisirnya hanya dengan menyapanya cepat dan bergegas berlalu untuk menyembunyikan gesture salah tingkah seluruh rangkaian sendi. Sebenarnya saya ingin sekali merebut mikrofon presenter acara di bangunan tanpa tembok penuh hiruk pikuk tadi untuk bernyanyi seperti seorang pria dengan rokok di antara jemarinya yang dengan mental baja berkata pada pasangannya, "gue cuma bilang, gue sayang kamu,". semantara waktu itu yang saya lakukan hanya melihat bayangannya yang tidak jelas sambil pura-pura melihat aksi pria dengan rokok di antara jemarinya, hahaha, konyol dan menyedihkan sekali (saya). Saya ingin dan ingin bernyayi.
I swam across
I jumped across for you
Oh all the things you do
Cause you were all yellow
I jumped across for you
Oh all the things you do
Cause you were all yellow
Hidup di perantauan itu menguras emosi. Bayangkan anda memiliki keponakan kecil yang lucu tapi hanya anda pandangi fotonya di layar telefon karena ibunya gaptek, orang tua yang tak terdengar lagi gurauan maupun nada marahnya di mukamu, Atau senandung kekasih hati di kota yang jauhnya ratusan mil dari kamar kosanmu (tidak terjadi dalam kasus saya). Karena itu semua kita duduk bersama, berbagi malam panjang dalam rangkaian panjang hari perantaun kita, tumpahkan semua ceria yang masih tersisa setelah di gerus rutinitas perjuangan kita untuk tetap berkalung warna ketika memasuki gedung perkuliahan, ketidaksamaan persepsi kehidupan muda kita dangan 'mereka', atau romansa untuk pria tanggung seusia kita.
Dan untuk seorang sahabat yang sedang memulai semuanya dari awal lagi, Ayo ikutlah kami bernyanyi lebih keras di jalanan setelah gerimis reda.